Raden Saleh Di Antara Persimpangan

Membicarakan tokoh satu ini, tentu akan selalu punya beragam sudut pandang. Tokoh yang jadi ikon dan pioner seni rupa modern Indonesia ini memiliki perjalanan hidup yang unik dan eksentrik.

Raden Saleh bisa kita kisahkan sebagai sosok bumiputra yang mengalami Eropaisasi di tengah identitasnya sebagai seorang yang berasal dari tanah koloni, anak keturuhan Jawa ningrat berdarah campur Arab yang di”asing”kan jauh dari akar dimana ia lahir dan tumbuh namun kemudian mampu menembus pergaulan para bangsawan elit di Eropa selama 22 tahun.

Beasiswa khusus yang diterimanya menjadi sebab petualangan megahnya dan pergaulan elitnya bersama kaum aristokrat, seniman dan bohemian di Eropa kurun waktu 1829-1851. Ada kepentingan politis bagi Pemerintah Belanda selain tentu karena bakatnya yang luar biasa dalam seni rupa akhirnya menjadi alasan keberangkatannya di tahun yang sama saat Perang Jawa sudah di fase akhir.

Sosok cerdas berbakat ini diharapkan bisa jadi aset bagi pemerintah Hindia Belanda dan bukan sebaliknya, jadi benih revolusioner kaum pribumi. Apalagi karena ia pernah tumbuh dan besar di lingkungan pamandanya, Pangeran Adipati Suroadimenggolo V alias Kanjeng Terboyo (1765-1827) yang merupakan tokoh intelektual penting dan bahkan sangat berjasa kepada Rafless dalam penyusunan buku The History of Java dan juga John Crawfurd dalam penulisan buku History of the Indian Archipelago, sosok bumiputra yang mampu berdiri di tengah irisan budaya Arab-Islam di Pantai Utara Jawa, budaya priayi keraton Jawa, namun dekat pula dengan masyarakat Tionghoa dan tentu memiliki pengaruh di tengah-tengah orang-orang Eropa di zamannya. Kanjeng Terboyo ini bersama anak-anaknya kemudian dianggap (dan memang salah satu putranya terbukti berdiri mengangkat senjata) mendukung gerakan Pangeran Diponegoro, yang menyebabkan pengasingannya sang Paman hingga wafat kemudian. Kedekatan pada darah dan keluarga pejuang (baca: pemberontak, dalam kaca mata Pemerintah Hindia Belanda) membuat Raden Saleh muda dianggap memiliki potensi ancaman.

Film Mencuri Raden Saleh, Novel Pangeran dari Timur

Nama Raden Saleh kembali mencuat setelah sebuah film lokal dengan genre heist yang diperankan bintang-bintang muda terkenal berhasil mencuri perhatian publik secara luas: “Mencuri Raden Saleh” di akhir 2022 lalu. Menariknya tentu lewat film ini, anak-anak muda generasi akhir 90an hingga bocil maestro pemain latto-latto jadi mengenal sosok Raden Saleh, atau minimal mendengar nama tersebut.

Dari film yang mengisahkan tentang pencurian salah satu karya masterpiece Raden Saleh, “Penangkapan Pangeran Diponegoro” membuat kalangan sejarah kembali memperdebatkan sikap nasionalisme sang pelukis. Apalagi ia mendapatkan priviledge yang luar biasa melampaui orang-orang sezamannya. Di saat sebagian besar wilayah Hindia Belanda, khususnya Jawa, mengalami masa tanam paksa, ia justru melanglang buana menikmati gaya hidup ningrat Eropa berikut pergaulannya, dielu-elukan sebagai orang Asia (Timur) yang terpandang dan menjadi seniman pesohor di kota-kota pusat dunia hingga dinobatkan menjadi pelukis Raja Belanda pada tahun 1851. Bagaimana ia bisa mewakili perasaan kaumnya ketika ia sendiri jauh dari identitas bangsanya?

Tapi memang tidak bisa dipungkiri pada beberapa lukisan serta tulisan sang maestro kepada sahabat dan koleganya ketika itu, sudah muncul benih-benih nasionalisme pada diri sang pelukis. Apalagi Raden Saleh pun memiliki pengalaman diskriminasi dan pembedaan prilaku atas status sosial, suku bangsa, ras dan warna kulit, pada masa awalnya tinggal di Eropa, dan disusul setelah ia kembali dan menetap di beberapa kota di Jawa hingga ia wafat di Bogor pada tahun 1880.

Lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” ataupun “Pertarungan antara Banteng dan Harimau” yang ia kirimkan kepada Napoleon III, Kaisar Perancis pada kisaran rentang 1853-1860an menyiratkan simbol perlawanan. Kedua lukisan diantara beberapa lukisan yang ia buat di periode setelah Revolusi Perancis 1848 memiliki pesan-pesan semiotik dan simbol penentangan terhadap praktik kolonialisme.

“Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh menjadi lukisan antitesis dari lukisan dengan tema sama karya Nicolaas Pieneman yang berjudul “Penyerahan Diponegoro” yang kemudian memunculkan spekulasi tentang bagaimana Raden Saleh telah menjadikan seni rupa sebagai basis perlawanan dan sikapnya terhadap penjajahan Eropa terhadap bangsa-bangsa di Afrika dan Asia.

Novel karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi

Perdebatan dan perbedaan opini tentang sikap dan bagaimana posisi Raden Saleh terhadap Bangsanya dan Pemerintah Hindia Belanda dalam perjalanan hidupnya yang penuh romansa dan pergulatan identitas sangat apik dikisahkan dalam novel karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi berjudul “Pangeran dari Timur.”

Sebuah novel fiksi roman sejarah yang sangat manis dituliskan dengan gaya tutur naskah film yang deskriptif begitu sarat informasi sejarah hidup sang legenda pelukis dengan balutan 2 kisah berbeda dalam 2 arus zaman: perjalanan hidup sang pelukis dan kisah awal pergerakan kemerdekaan yang diwakili 2 kubu pro dan kontra terhadap sang pelukis juga pada pilihan perjuangan menuju kemerdekaan.

Novel yang berkisah tentang semangat nasionalisme bertentangan dengan sikap kooperatif hingga pragmatis dan opportunis yang diwakilkan oleh tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam novel 2 arus zaman tersebut patut diacungkan jempol karena riset dan bahan-bahan yang membentuk novel yang terdiri dari lebih450 halaman ini minimal memiliki 2 tantangan besar, bagaimana duet penulis mampu menarasikan detail perjalanan kisah Raden Saleh dan sekaligus menghadirkan detail setting dan plot kisah pada 2 arus zaman yang berbeda tentang apa situasi dan kondisi kota-kota di Belanda, Perancis, Dresden Jerman, Inggris, hingga Batavia, dan Buttenzorg (Bogor) di masa 1840-an juga Bandung dan sekitarnya hingga Boven Digul pada era 1930an.

Dan asyik tentu menikmati novel roman sejarah selain kita disuguhi oleh fakta sejarah sekaligus opini penulis lewat storytelling yang dramatis kita pun memiliki kebebasan dalam merangkaikan imajinasi dan persepsi kita pada sang tokoh maupun kondisi dan situasi masyarakat dimana kisah dan cerita digulirkan.

Lagi-lagi, lewat tulisan ini saya ingin sekedar berbagi bagaimana sejarah banyak memberikan pelajaran dan inspirasi. Dengan belajar sejarah baik lewat literatur maupun media lain, mendorong kita bisa menemukan identitas dan juga cara kita memandang masa depan.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.